Minggu, 11 September 2011

Bijaksanakah kita?

Hanya sekedar tulisan yg dibuat dengan media Corel Draw
tanpa proses editing font, warna & semacamnya,
lalu di export menjadi file jpg
kemudian di-upload ke blog yg jarang di simak oleh orang lain.
Saya sendiri belum bisa menjalankan sepenuhnya.
Semoga bermanfaat.

Senin, 30 Mei 2011

The Great Lucky Green

Vespa Super tahun 1976

Foto diatas vespa masih dalam kondisi standar, belum saya prejeng sama sekali.
Tunggu hasil prejengan dalam beberapa bulan kedepan.

Bukan Gerusan

    Mungkin tulisan ini ketika saya baca 4-5 tahun mendatang terkesan sangat lugu bahkan lucu. Tapi ya inilah yang saya lakukan sekarang. Seorang mahasiswa Akademi Tekhnik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politekhnik Muhammadiyah Yogyakarta.

   Kuliah di Kampus nan sederhana, bahkan jauh dari kata ‘WELL’ ditinjau dari segi Gedung atau Bangunannya. Karena gedung perkuliahannya dulunya adalah Kampus UMY dan sekarang diambil alih menjadi Kampus PMY. Secara kasat mata, orang yang belum tau keberadaan Kampus ini mungkin menganggap ‘bukan kampus’. Berbagai jurusan yang ada didalamnya, prokontra antar jurusan, itu bukan masalah. Bahkan jumlah mahasiswa yang hanya 9 orang tak dipermasalahkan untuk menimba ilmu.

    Kali ini saya tak akan membahas tempat perkuliahan, karena itu bukan kompetensi saya. Ini tentang semangatku semasa duduk di semester 2, yang mana pada saat ini aku ‘masih’ semangat menimba ilmu di kampus ini. Walaupun sebelumnya saya juga sempat merasakan kebosanan, tapi ya wajarlah namanya juga manusia. Bosan itu boleh, asal jangan berlarut. Semester dimana sudah mulai praktikum di beberapa Rumah Sakit, mulai mengetahui seperti apakah pekerjaan yang akan saya lakukan kelak.

    Banyaknya tugas praktikum, membuat laporan, membuat makalah dan presentasi itulah makanan saya tiap minggunya. Kalo ditanya, apa nggak bosen dengan dengan kegiatan seperti itu tiap harinya? Kalopun saya bilang bosan juga nggak bisa merubah keadaan. Jalani saja apa yang ada didepan. Toh ini juga merupakan tahapan atau fase dalam masa pembiasaan dengan lingkungan dan kehidupan. 

    Oh iya, saat ini ada seseorang yang menjadi penyemangat saya, namanya Wipti Eta Bradiwasasri yang mana dia adalah pacar saya sendiri :). Secara tidak langsung dia adalah sumber acuan saya untuk melangkah kedepan. Thanks dear :). Yah, yang jelas sampai saat ini saya masih mempunya semangat untuk kuliah, dan semoga saya bisa mempertahankan semangat ini sampai lulus kelak.
Lanjut ke bahasan selanjutnya.

    Sampai saat ini saya masih bersukur punya orang tua yang masih sanggup membiayai kuliah saya. Walaupun biaya kuliahnya mahal dan tidak sepadan dengan fasilitas yang saya terima tak masalah. Yang terpenting kualitas Dosen pengajar tetap YEIS. Mahalnya biaya persemester pun tak terasa berat jika diangsur tiap bulannya. Bicara soal lanjutan pendidikan, orang tua saya menyarankan untuk melanjutkan ke jenjang D IV di Semarang. Tapi itu belum saya pikirkan terlalu jauh. Suatu saat jika sudah saatnya, saya pasti akan memikirkan hal itu.

    Ngomong-ngomong tentang pikiran jauh kedepan, jadi pengen ngobrol tentang pekerjaan nih. Ya kalo ditanya cita-cita mau kerja dimana habis selesai kuliah sih aku pengennya malah di luar Yogyakarta, bahkan kalau bisa luar pulau. Kenapa? Ya dari dulu aku memang suka mencari dan mencoba hal dan tempat yang belum pernah terjamah, selain mendapati orang-orang baru tentunya pengalaman juga akan bertambah. Yang jelas selagi muda, cari pengalaman sebanyak mungkin lah.

Sabtu, 16 April 2011

Harga sebuah kesenian warisan

Teringat ketika aku masih kecil dan masih bersekolah dijenjang Taman Kanan Kanak. Seringkali alm kakek mengajakku untuk menonton kesenian tradisional, sebut saja JATHILAN. Hampir tiap minggu aku diajak menonton jathilan tersebut.

Di gendong dan menyeberangi sungai, sampailah di halaman gedung pameran/kesenian Kasongan. Disitulah biasanya diadakan pertunjukan rutin tiap minggunya. Tempat, sarana dan prasarana sudah disediakan dan saya rasa cukup memadahi.

Coba sekarang kita tengok subyek yg sama diwaktu yg berlainan. Kesenian tradisional Jathilan digunakan sebagai lahan untuk mencari nafkah yg tidak layak.

Mereka mempertontonkan sebuah kesenian warisan dibawah terik sinar matahari dan meminta uang se-ikhlasnya dari para pengemudi yg sedang berhenti disuatu lampu merah. Apa nggak ngenes itu kalau Jathilan dipakai buat ngamen?! Semurah itukah harga sebuah kesenian warisan dari nenek moyang kita?

Oke, memang pendapatan dari mereka bisa dikatakan cukup lumayan. Tapi yg disesalkan, kenapa harus dengan cara seperti itu?

Sepertinya Pemda setempat sudah tak lagi peduli. Para pemain Jathilan seharusnya disediakan tempat, sarana dan prasarana untuk melestarikan dan mengapresiasikan warisan  kesenian tersebut. Dengan demikian, Jathilan akan layak dipandang dan tetap merakyat. Entah nantinya di Gedung pertunjukan itu juga di pasang kotak sumbangan se-ikhlasnya untuk kelangsungan group itu tak masalah. Setidaknya mereka bisa mendapatkan tempat yg layak untuk mementaskan sebuah kesenian warisan.

Kita semuanya pantas dan seharusnya memang harus mengetahui budaya atau warisan dari nenek moyang kita dulu. Modernisasi tanpa sejarah? NOL BESAR! Save Jathilan!

Pengen support tapi kok mahal ?!

     Akhir-akhir ini mungkin kita sering mendengar keluhan dari teman ataupun orang yang belum kita kenal tentang harga merchandise band dan harga tiket masuk gigs yang makin mahal. Hal tsb bisa terjadi pasti ada factor-faktor penyebabnya. Mari kita telaah bersama factor-faktor tsb.

  • Pertama, naiknya bahan baku produksi kaos yg makin lama makin naik. Dengan kenaikan harga bahan baku, otomatis biaya produksi yg digunakan juga akan semakin naik pula. 
  •  Kedua, design yang bagus dan menarik. Jangan dikira bikin design itu mudah. Ini membutuhkan keterampilan dan memakan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan sebuah design. 
  • Ketiga, kelangsungan hidup band. Sebuah band memproduksi merchandise salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan untung (bukan komersil). Keuntungan tsb dimanfaatkan untuk biaya latihan, bikin merchandise, rekaman, dll. 

      Jadi, jangan dikira mereka membuat merchandise hanya untuk mencari keuntungan pribadi saja. Keperluan band banyak, sewa studio buat latihan, kemudian rekaman. Itupun dengan budget yang tidak sedikit tentunya. Kalau kita mensupport mereka dengan membeli merchandise nya secara tidak langsung kita membantu kelangsungan hidup band itu. Toh uang yang kita keluarkan nantinya juga akan kita rasakan kembali setelah band tsb rekaman dan kita akan menikmati hasil karyanya tsb.

     Tapi ada juga band yang menghidupi band nya dengan modal sendiri. Jangan salah sangka ketika mereka setelah merilis album dan menjual kasetnya ke umum dengan nominal tentunya. Biaya yang mereka keluarkan untuk merampungkan sebuah album tidaklah murah, jadi wajar kalau mereka menjualnya dengan nominal tertentu. Kalau kita suka terhadap karya band tsb ya supportlah, kalau tidak suka ya tinggalkan saja. Tak usah banyak bicara ini itu.

     Lantas bagaimana jika kita ingin mensupport mereka tapi tidak mampu membeli merchandise ataupun rilisan album mereka? Mudah saja, pinjamlah kaset teman kamu yang sudah beli lalu dengarkan hasil karyanya. Saat mereka main dalam suatu gigs datanglah, ikutlah sing along dan meramaikan gigs tsb. Dengan seperti itu kita telah mensupport mereka secara langsung, dan mereka juga akan respect kepada kita.
   
     Permasalahan kedua muncul. Mau support band teman yang main kok harga tiket masuknya mahal? Telah kita ketahui bikin gigs itu selain ribet juga membutuhkan budget yg tidak sedikit. Budget itu digunakan untuk memberikan fee kepada band luar kota yg diundang, sewa tempat, ijin polisi, sewa alat, sewa sound, dll.

    Katakanlah ada gigs yg tiketnya 10ribu. Kita merasa keberatan untuk mengeluarkan uang dengan nominal itu. Tapi disisi lain ada band teman kita yg main. Lha kalau bukan kita yg support lalu siapa lagi yg akan mensupport mereka?! Tak usah pikir panjanglah kalau mau mensupport teman sendiri. Kalau ingin disupport ya kita juga harus mensupport. Hubungan timbal balik itu selalu ada. Tak usah ragu mengeluarkan uang segitu untuk masuk ke dalam suatu gigs, kita juga akan menikmati gigs tsb kan akhirnya.

    Ada juga gigs dengan harga tiket masuk yg lebih mahal lagi. Kalau kita gak suka acaranya, ya gak perlu memaksakan masuk. Datang saja dan berada diluar tempat acara biar bisa ketemu teman-teman yg lain. Tak perlu membicarakan harga tiketnya yg mahal. Ngapain juga kita beli tiket kalau tidak ada kepuasannya setelah berada didalam gigsnya. Yang ada cuma kecewa “Wah, wes larang gek band e raono sek tak senengi, reti ngono duite tak nggo tuku sego tempe wae malah wareg”.