Sabtu, 16 April 2011

Harga sebuah kesenian warisan

Teringat ketika aku masih kecil dan masih bersekolah dijenjang Taman Kanan Kanak. Seringkali alm kakek mengajakku untuk menonton kesenian tradisional, sebut saja JATHILAN. Hampir tiap minggu aku diajak menonton jathilan tersebut.

Di gendong dan menyeberangi sungai, sampailah di halaman gedung pameran/kesenian Kasongan. Disitulah biasanya diadakan pertunjukan rutin tiap minggunya. Tempat, sarana dan prasarana sudah disediakan dan saya rasa cukup memadahi.

Coba sekarang kita tengok subyek yg sama diwaktu yg berlainan. Kesenian tradisional Jathilan digunakan sebagai lahan untuk mencari nafkah yg tidak layak.

Mereka mempertontonkan sebuah kesenian warisan dibawah terik sinar matahari dan meminta uang se-ikhlasnya dari para pengemudi yg sedang berhenti disuatu lampu merah. Apa nggak ngenes itu kalau Jathilan dipakai buat ngamen?! Semurah itukah harga sebuah kesenian warisan dari nenek moyang kita?

Oke, memang pendapatan dari mereka bisa dikatakan cukup lumayan. Tapi yg disesalkan, kenapa harus dengan cara seperti itu?

Sepertinya Pemda setempat sudah tak lagi peduli. Para pemain Jathilan seharusnya disediakan tempat, sarana dan prasarana untuk melestarikan dan mengapresiasikan warisan  kesenian tersebut. Dengan demikian, Jathilan akan layak dipandang dan tetap merakyat. Entah nantinya di Gedung pertunjukan itu juga di pasang kotak sumbangan se-ikhlasnya untuk kelangsungan group itu tak masalah. Setidaknya mereka bisa mendapatkan tempat yg layak untuk mementaskan sebuah kesenian warisan.

Kita semuanya pantas dan seharusnya memang harus mengetahui budaya atau warisan dari nenek moyang kita dulu. Modernisasi tanpa sejarah? NOL BESAR! Save Jathilan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar